Senin, 06 Juni 2011

Keluar dari Diskriminasi Pendidikan


oleh Imam Suprayogo Satu pada 06 Juni 2011 jam 21:34

Salah satu wacana yang seringkali  muncul terkait dengan persoalan pendidikan adalah adanya diksriminasi pelayanan  yang diberikan  oleh pemerintah. Diskriminasi itu, yang paling sering muncul  ke permukaan adalah antara pendidikan yang dikelola kementerian agama dan pendidikan yang dikelola oleh kementerian pendidikan nasional. Madrasah yang kebanyakan berstatus swasta dan  apalagi  pesantren yang seluruhnya dikelola oleh masyasrakat,  sering menyuarakan bahwa  tidak banyak dibantu oleh pemerintah.  Demikian pula perguruan tinggi yang berada di bawah kementerian agama, setiap tahun menerima anggaran  tidak sebesar  yang diterima oleh mereka yang berada di bawah kementerian  pendidikan nasional. 

Diskriminasi seperti itu membuahkan hasil yang berbeda. Sering disebut-sebut, bahwa kualitas madrasah tertinggal dari sekolah umum, sekalipun  ketertinggalan itu, ----kalau memang benar,  hanya dilihat dari prestasi ujian nasional.  Sedangkan prestasi lainnya,  menyangkut kemampuan atau pengetahuan agama, madrasah   lebih unggul.  Sayang  kelebihan yang dimiliki  oleh madrasah, sekalipun akhir-akhir ini disebut-sebut bahwa pendidikan karakter adalah penting, namun  prestasi madrasah tersebut belum  mendapatkan pengakuan yang semestinya.

Sejak beberapa tahun terakhir, perlakuan diskriminatif itu sudah diusahakan untuk dihilangkan, atau setidak-tidaknya dikurangi. Anggaran pendidikan  dari pemerintah,  sebagian sudah disalurkan kepada kementerian agama untuk membiayai operasional pendidikan di bawah kementerian itu. Akan tetapi rupanya,  untuk mengejar ketertinggalan yang sudah sedemikian lama dan jauh, tidak segera  terasakan hasilnya. Masih saja ada perasaan, bahwa anggaran pendidikan yang berada di bawah kementerian agama  lebih kecil jumlahnya.

Perasaan berbeda  itu tidak saja terbatas pada soal anggaran, melainkan juga hal-hal lainnya yang lebih luas, seperti misalnya menyangkut ketenagaan, penyediaan fasilitas,  maupun akses lainnya. Sekalipun sama-sama sebagai dosen di perguruan tinggi misalnya, hanya karena masing-masing berada di bawah kementerian yang berbeda, maka peluang mengembangkan diri juga berbeda. Dosen di kementerian agama, baik UIN, IAIN dan STAIN,   tidak banyak memiliki akses untuk mendapatkan biaya penelitian  dari pemerintah. Demikian pula biaya untuk studi lanjut, mengikuti kegiatan ilmiah  dan lain-lain.

Diskriminasi yang sudah lama terjadi  dan bahkan  sekalipun sudah  ada usaha untuk keluar dari kenyataan itu,  ternyata  belum berhasil dihilangkan. Oleh karena itu saya berpendapat, bahwa  sepanjang  pengelolaan pendidikan masih ditangani oleh kementerian yang berbeda-beda, maka perasaan  diskriminasi  selamanya tidak akan bisa dihilangkan. Sebab tidak akan mungkin dua kementerian memiliki  kebijakan yang  persis sama.

Oleh karena itu  maka cara yang paling memungkinkan  untuk   menghindari  terjadinya diskriminasi itu adalah menyerahkan pengelolaan  pendidikan kepada satu kementerian, misalnya kepada kementerian pendidikan nasional. Namun cara itu  juga tidak mudah dilakukan, oleh karena  persoalan itu  terkait dengan sejarah, politik, psikologis, sosiologis, budaya dan lain-lain. Integrasi pengelolaan pendidikan  seperti itu memang  rasional, obyektif,  lebih efisien,  serta dimungkinkan akan menghilangkan  diskriminasi. Akan tetapi dengan adanya faktor-faktor tersebut menjadikan tidak mudah dilakukan.          

Pada suatu kesempatan diskusi,   dalam rangka  mencari pemecahan dari adanya dikotomomik pengelolaan pendidikan, saya pernah mengajukan  alternative, yaitu agar kedua kementerian, ----- kementerian agama dan kementerian pendidikan nasional,  digabungkan menjadi satu saja, sehingga menjadi kementerian agama, pendidikan,  dan kebudayaan.  Menurut hemat saya,  bahwa apa saja yang dikelola oleh institusi yang berbeda, maka selalu menghasilkan buah yang berbeda pula. Oleh karena itu menyerahkan persoalan itu pada satu  kementerian  akan memungkinkan terjadi tidak adanya diskriminatif itu.

Pandangan tersebut, saya dasarkan pada argumentasi,  bahwa sebenarnya jika dipahami secara mendalam dan utuh,  antara agama, pendidikan dan kebudayaan, memiliki makna yang hampir serupa. Baik agama, pendidikan   dan kebudayaan,  ketiganya berusaha menjadikan manusia semakin berkualitas. Dengan agama manusia diharapkan menjadi lebih berkualitas,  baik dalam  keimanan, amal shaleh dan berakhlak mulia atau disebut bertaqwa. Demikian pula pendidikan dan kebudayaan adalah juga mengantarkan manusia menjadi bertaqwa, cerdas, bertanggung jawab, mandiri,  dan seterusnya. Maka, menurut hemat saya,  jika ketiganya digabung menjadi satu, maka masing-masing tidak akan  terganggu, oleh karena adanya keserupaan makna itu.
Ketika itu, belum selesai  saya berbicara, sudah ada beberapa teman yang menyanggah dan bahkan menolak, dengan alasan  sejarah, politik, sosiologis dan lain-lain tidak mungkin pendapat itu diterima. Akhirnya saya hentikan pembicaraan itu, khawatir dituduh yang bukan-bukan. Namun saya  masih berpendapat, manakala ketiga persoalan  terserbut dikelola oleh satu kementerian, maka perasaan diberlakukan secara diskriminatif itu  akan bisa dikurangi. Namun, itu tadi  anehnya, tidak mau ada  diskriminasi, tetapi juga tidak mau pula keadaan itu diubah.  Maka akhirnya saya menyimpulkan,  bahwa memang mengurus bangsa yang besar ini tidak mudah, siapapun pemimpinnya. Wallahu a’lamTop of Form